Mengapa Harus Malu Saling Follow Dengan Orangtua?
JATENGLIVE.com - Mengamati fenomena remaja yang risih ataupun malu apabila saling ber-follow dengan orangtua nya. Suatu waktu ada nama akun orangtua kita ada dalam notifikasi Friends Request di media sosial kita ataupun dengan cara mengontak kita untuk mengabari dimintanya mem-Follback akun mereka. Apakah kamu panik? Canggung? Atau merasa dalam 'masalah' besar?
Kesenjangan digital tersebut antar generasi kita rasakan. Orangtua kita yang mungkin di atas 50 tahun baru saja mengetahui sosial media dan hanya mencoba-coba, tetapi mereka begitu ingin kenal dengan sosial media. Maka dari itu, waktu dengan smartphone pun bisa jadi lebih banyak dan intens.
Karena merasa terkoneksi kembali via sosmed dengan kawan, rekan kerja, atau saudara yang tak lama jumpa. Maka apa salahnya mem-follow akun anaknya sendiri, mungkin begitu pikir mereka.
Tidak atau ditunda friend request orangtua, anak akan merasa rikuh sampai-sampai canggung. Tidak di-Follback pun, bisa-bisa orangtua cerewet bertanya kenapa.
Ada beberapa asumsi yang menjadi pertanyaan yang timbul di benak sang anak:
- Orangtua akan tahu jejak digital saya yang aneh
- Orangtua akan mengawasi tindak saya di sosial media
- Orangtua akan ikutan berkomentar soal postingan saya
Sehingga tindakan kuratif dan preventif sang anak pun dilakukan:
- Anak akan menghapus postingan yang aneh, tidak senonoh, dan memalukan
- Anak akan tidak meng-approve friend request atau bahkan membuat akun sosmed baru lagi
- Anak akan jarang untuk posting, walau sebelumnya sangat giat
Ada yang menarik dibalik fenomena kerisihan seorang anak di-Follow akunnya oleh orangtua sendiri. Ada persepsi anak terhadap sosmed.
Pertama, sosmed sebagai dunia euforis. Dunia digital menjadi media hura-hura. Anak merasa bebas berekspresi, berkata, dan berperilaku di sosial media tanpa memikir situasi keadaan sekitarnya. Kadang demi mencari pengakuan sosial (pansos) dilakukan dengan cara apapun.
Kedua, sosmed sebagai media alter ego. Akun sosmed adalah privasi buat anak. Apalagi para remaja yang dianggap labil dan mencari jati diri. Mereka bisa menjadi apa yang diinginkan. Dunia digital menyediakan ruang-ruang hiperrealitas ini. Walau faktanya, baik sikap dan perilaku sang anak berbeda. Di rumah sang anak penurut, tidak banyak gaya, bahkan cenderung pendiam.
Ketiga, sosmed sebagai dunia tempat pelarian. Sosmed bukan lagi sekadar ruang berinteraksi. Kini sudah menjadi media mencurahkan isi hati, emosi, kritik, kebencian, dan kebutuhan lainnya dari sang anak. Maka tak ayal, akun sosmed tak lain adalah sarana mengaspirasi kesedihan, kemarahan, dan tak jarang keinginan terpendam.
Maka dari ketiga persepsi anak pada sosmed tersebut diatas. Tak jarang banyak anak yang merasa sungkan berbagi akun asli miliknya pada orangtua. Tak jarang mereka memalsukan akun demi bisa membenarkan ketiga persepsi diatas. Orangtua semacam ini lebih baik dalam memahami gawai dan dunia digital. Walau kadang anak memiliki pengetahuan teknologinya diatas rata-rata orangtua. Dengan beragam teknik dan upaya, anak sanggup mengelabuhi orangtua yang ingin mem-follow anaknya sendiri di sosmed.
Hal ini pun yang dapat dikira menjadi pondasi keluarga agar anak terbuka dan bertanggungjawab. Baik itu dalam komunikasi kepada orangtua secara offline atau online. Dan bertanggungjawab atas postingan diri sendiri di dunia maya.
Artikel ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Risih Di-Follow Orangtua Sendiri?"
https://www.kompasiana.com/girilu/5c7d415f43322f664949c9c8/mengapa-risih-di-follow-orangtua-sendiri-di-sosial-media
Penulis : Giri Lumakto
Baca Juga :