Registrasi SIM Prabayar Dikatakan Mitos Pro dan Kontra pun Bermunculan
JATENGLIVE.COM - Sejak awal diberlakukan, program Registrasi kartu SIM prabayar menuai pro dan kontra. Pemerintah berdalih program ini untuk memberantas penipuan, SMS dan telepon spam, hingga aksi terorisme.
Menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, registrasi kartu SIM prabayar tidak solutif dan hanya menjadi “mitos” melawan kejahatan.
“Janji-janji mengurangi prank call dan angka kriminal ternyata tidak terbukti di banyak negara. Karena sebenarnya hal berbeda antara meminimalisir kejahatan dengan isu registrasi,” kata dia, usai RDP bersama Komisi I DPR RI, Selasa (10/4/2018) kemarin.
Ia menjelaskan, di beberapa negara bahkan terjadi lonjakan tingkat prevalensi kejahatan gara-gara program registrasi kartu SIM prabayar. Mulai dari pencurian telepon, hingga menfasilitasi munculnya pasar gelap, yaitu untuk data-data yang dicuri.
Sebagai contoh, Kanada membatalkan program registrasi kartu SIM prabayar setelah beberapa kali konsultasi dan tidak dapat dibuktikan bisa mengurangi kejahatan.
Meksiko juga mencabut Undang-undang (UU) yang mewajibkan pendaftaran kartu SIM prabayar setelah tiga tahun pelaksanaan. Pasalnya, dilihat tidak ada perbaikan dalam pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan kejahatan.
“Saya sendiri sampai sekarang masih dapat spam, padahal sudah lakukan registrasi,” kata dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara mengatakan, saat ini proses registrasi kartu SIM prabayar masih berlangsung. Hasilnya baru bisa terlihat Mei 2018 mendatang.
"Saya katakan nanti, ini kan baru tahap satu. Saya berharap kalau nanti sudah bersih datanya, bulan Mei kami bisa lebih cepat lagi merespons (SMS dan telepon spam)," ia menuturkan beberapa saat lalu.
Terlalu buru-buru, belum ada payung hukum
Selain dinilai tak solutif, program registrasi kartu SIM prabayar justru dianggap membahayakan keamanan data pribadi pengguna. Sebab, belum disahkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai payung hukum yang melindungi.
Di negara-negara lain yang memiliki UU PDP, ia menjelaskan, ada komisi khusus untuk mengurus pelanggaran data pribadi. Ketika ada keluhan, komisi akan memberikan pemulihan kepada korban, mengusut pelaku, dan memberikan sanksi ke pelaku. “Di sini tidak terjadi seperti itu karena belum ada UU PDP, cuma andalkan Peraturan Menteri yang sanksinya cuma administrasi,” ia mengimbuhkan.
“Ini (registrasi kartu SIM prabayar) terlalu terburu-buru. Harusnya kalau mau diberlakukan tunggulah ada instrumen perlindungan data yang kuat,” kata Djafar.
Berdasarkan penelusuran Elsam atas 88 negara di dunia, ada 57 di antaranya yang sudah memiliki UU PDP. Dari situ, cuma 6 negara yang mewajibkan registrasi kartu SIM prabayar.
Sementara, dari 31 negara yang belum punya UU PDP, ada 8 negara yang ujug-ujug sudah mewajibkan registrasi kartu SIM prabayar. Salah satunya adalah Indonesia.
Secara keseluruhan, ada 110 negara yang telah memiliki UU PDP. Sepuluh di antaranya adalah negara Afrika yang notabene lebih tertinggal ketimbang Indonesia untuk urusan perkembangan digital.
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Registrasi Kartu SIM untuk Tangkal Penipuan Dinilai Cuma Mitos")
Baca Juga :