Tahukah Kamu Asal Usul Keberadaana Guling?
Orang Indonesia pada umumnya tidak bisa tidur tanpa menggunakan bantal dan guling. Tidak dipungkiri lagi guling menjadi teman tidur yang melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, namun tidak banyak yang tahu asal usul keberadaan guling.
Asal - Usul Guling di Indonesia
Berdasarkan berbagai literatur yang ada, guling sebagai pelengkap tidur sebenarnya hanya ada di Indonesia. Kehadirannya yang tidak ada di negara lain membikin guling jadi barang yang unik.
Presiden ke-1 RI Soekarno bahkan sangat bangga dengan keberadaan guling. Guling dianggapnya sebagai salah satu identitas bangsa.
"Orang Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kita satu-satunya bangsa di dunia yang memiliki jenis bantal yang digunakan hanya untuk berpelukan. Di setiap tempat tidur Indonesia, ada bantal sebagai hulu dan bantal kecil yang disebut guling. Guling ini bisa kita peluk sepanjang malam," ujar Bung Karno sebagaimana yang ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.
Kehadiran guling ini juga sempat membuat turis-turis yang datang ke Indonesia terpukau. Misalnya saja, penulis asal Inggris Willian Basil Worsfold, yang mengunjungi Jawa pada tahun 1892. Ia mengaku puas dengan pelayanan hotel-hotel di Jawa. Dalam buku Tourism in the Dutch East Indies 1981-1942 karangan Achmad Sunjayadi, Worsfold menganggap guling sebagai 'istri Belanda'.
Dalam bahasa inggris sendiri, guling biasa disebut bolster serta sebuah sebutan yang unik yaitu Dutch wife atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti istri Belanda. Dulu, guling dijadikan sebagai pengantar fantasi melawan sepi pria-pria Belanda.
Bukan tanpa alasan, istilah 'Dutch wife' muncul karena rasa kesepian yang merasuki pria-pria Belanda. Guling disebut sebagai produk yang berasal dari kebiasaan membujang para tentara dan pejabat Belanda di Hindia Belanda. Gara-garanya, tak ada wanita Eropa kala itu.
Sebagai strategi untuk menangkal kesepian dan menyalurkan libido, mereka mencoba berbagai cara. Salah satunya dengan guling. Tak semua pria mampu mendatangkan istri atau kekasihnya dari Belanda. Tak semua pria juga mampu bertandang ke rumah bordil atau bisa memilih selir.
Guling jadi pilihan paling murah untuk menyalurkan libido yang tidak terkendali. Beberapa pria Belanda menggunakan guling untuk melepaskan kerinduan pada yang terkasih. Lewat guling, mereka bisa berfantasi bahwa bantalan empuk yang ada di depannya itu seolah-olah sosok wanita yang dicintai.
Guling yang kita kenal saat ini memang lahir dari kebudayaan Indis atau Hindia Belanda pada sekitar abad 18 hingga 19. Munculnya guling ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Eropa, Indonesia, dan China yang memang sering terjadi pada kaum Indis pada masa itu. Kebiasaan itu pada awalnya merupakan hal yang dilakukan oleh kaum kelas atas namun akhirnya menyebar dan banyak dilakukan oleh masyarakat umum.
Bentuk guling yang memanjang sebenarnya berasal dari guling yang sudah ada pada beberapa budaya Asia timur. Di China benda ini disebut sebagai zhufuren, di Korea benda ini dinamai jukbuin, dan di Jepang dikenal istilah chikufujin. Semuanya mengacu pada guling dengan bentuk memanjang hanya saja terbuat dari bambu.
Masuknya budaya China ke wilayah Nusantara dan kemudian munculnya penjajahan telah membuat guling yang sebelumnya tidak begitu terkenal menjadi banyak digunakan oleh orang Belanda hingga akhirnya ditiru banyak orang.
Baca Juga :