Malam Satu Suro : Sejarah, Mitos dan Pantangan

Malam 1 Suro tahun 2022 akan jatuh pada hari Sabtu, 30 Juli. Sebagai salah satu populasi Muslim terbesar, perayaan malam satu suro di Indonesia biasa dimeriahkan dengan berbagai macam acara.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Dalam penanggalan Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Berdasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).penanggalan jawa memiliki siklus windu (sewindu:8 tahun), dimana konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharram dalam kalender Islam.

Sejarah Malam 1 Suro
Menurut Harian Kompas, Kamis (4/3/1971), penetapan satu suro sebagai Tahun Baru Jawa telah dilakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma atau yang dikenal sebagai Sultan Agung. Ia merupakan Sultan Kerajaan Mataram Islam pada 1613-1645 dan mendapat gelar Wali Radja Mataram dari para ulama.

Penyematan gelar tersebut dilakukan atas jasanya menyebarkan ajaran Islam tanpa menghapus tradisi Jawa. Pada 1633 Masehi, atau pada tahun Jawa 1555, Sultan Agung mengadakan selametan secara besar-besaran. Dalam pesta tersebut, dia juga menetapkan Satu Suro sebagai tanda Tahun Baru Jawa.

Namun, keputusan tersebut diambil setelah dilakukan perpaduan kalender Hijriah dan kalender Jawa. Keputusan juga diambil dengan memadukan system penanggalan Islam, Hindu dan pengaruh penanggalan Julian dari barat.

Setelah mengambil keputusan tersebut, Sultan Agung dari Kerajaan Mataram mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan adanya penggantian penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan. Adanya perubahan tersebut membuat setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Tradisi Malam 1 Suro
Seauai tradisi Jawa di malam satu suro umumnya dilakukan tirakat, lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk, dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan beberapa orang memilih melakukan tirakat di tempat sakral seperti laut, gunung, pohon besar, ataupun makam keramat. Peringatan malam satu suro harus berjalan khuysuk.

Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan malam satu Suro. Di Solo, misalnya perayaan malam satu Suro terdapat hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule. 

Di Keraton Surakarta Hadiningrat kirab malam satu suro dipimpin Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Dalam Babad Solo Raden Mas Said disebutkan leluhur kebo bule adalah hewan kesayangan Paku Buwono II. Ciri dari leluhur kebo bule disebutkan berwarna putih kemerahan, hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Pada saat kirab kebo bule diikuti para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka. Kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro.

Tradisi yang lain di Keraton Yogyakarta dalam menyambut 1 Suro adalah Tapa Bisu atau Topo Bisu. Tapa Bisu adalah tradisi tahunan yang dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi area sekitar Keraton Yogyakarta tanpa berbicara sepatah katapun.

Rangkaian ritual Topo Bisu akan diawali dengan lantunan tembang macapat yang dilantunkan oleh para abdi dalem di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta. Dalam lirik kidung pada tembang macapat yang dilantunkan ini terselip doa-doa serta harapan. 

Tapa bisu dimulai pada tengah malam hingga dini hari, dan dimulai saat lonceng Kyai Brajanala di regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Kemudian para abdi dalem peserta tirakat akan mulai berjalan mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta. 

Rute Tapa Bisu dimulai dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, kemudian Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, lalu Jalan Wahid Hasyim, Suryowijatan, melewati Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan Berakhir di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Mitos dan Laragan
Malam Satu Suro sering dikaitkan dengan hal-hal mistis dan sakral karena dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur. Selain itu masyarakat di pulau Jawa tak sedikit meyakini malam 1 Suro merupakan ajang berpesta makhluk halus. 

Banyak mitos yang berhubungan dengan malam 1 suro. Sering dikaitkan dengan hal-hal mistis, 
1. Dilarang berpergian Jauh
Bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram atau bulan Suro dianggap sebagai waktu untuk merenungi perbuatan dalam kehidupan. Oleh sebab itu dianjurkan untuk memperbanyak beribadah di rumah. Dari sini, munculah mitos bahwa pada 1 Suro, sebaiknya tidak bepergian keluar rumah. Jika melanggar larangan itu, mitosnya adalah akan mengalami kesialan.

2. Dilarang mengadakan hajatan
Masyarakat Jawa percaya bahwa menggelar acara besar atau hajatan pada bulan Muharram atau bulan Suro, akan membawa hal buruk. Selain itu, untuk beberapa masyarakat yang menganggap hal itu tidak benar, atau tidak meyakini memiliki alasan sendiri mengapa tidak menggelar hajatan. Mereka menganggap, menggelar hajatan di bulan Suro akan mengganggu ritual yang ada di keraton.

3. Dilarang pindah rumah
Pindah rumah di bulan Muharram atau Suro bagi masyarakat Jawa sebaiknya tidak dilakukan. Karena menurut mitos yang beredar yaitu jika melakukan pindahan rumah saat bulan Suro, akan mengalami rumah tangga yang tidak harmonis.

4. Melakukan tapa bisu
Ritual yang menjadi kepercayaan sebagian masyarakat Jawa. Tapa bisu ini dilakukan dengan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta, dan tidak boleh berbicara. Selain itu, saat menjalankan ritual ini dilarang untuk makan, minum, maupun merokok.

Makna Peringatan 1 Suro
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. 

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro.

Peringatan 1 Suro selalu berjalan dengan khusuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Gusti yang membuat hidup dan menghidupi dunia dan seisinya.

 

 

Baca Juga :

Keyword:
Google+