Mengapa Orang Suka Bergosip Dengan Akun Palsu?
Selebgram Rachel Vennya atau yang sering dipanggil "Bunna" baru-baru saja mengungkapkan kekecewaannya di akun instagramnya tentang perudungan yang dialaminya.
Ditengah - tengah membangun karirnya, Rachel Ternyata menjadi bahan gunjingan dan candaan haters forum gossip di thread berjudul "All About Sekuter Selebgram Chapter VI" via detikForum tersebut.
Wadah percakapan digital itu disebut sarat dengan ujaran kebencian, bullying, dan berbagai kometar brutal lainnya dari penggunanya. Pergunjingan ini dilakukan secara anonim dengan istilah maupun kata yang tergolong sulit dipahami.
Korbannya pergunjingan tidak hanya Rachel Venya, tetapi selebgram dan sejumlah artis juga mengaku telah menjadi korbannya.
Sebenarnya adanya forum gosip underground ini bukan hal yang baru. Pola serupa juga bisa kita lihat saat kemunculan sejumlah akun Instagram gosip yang beberapa waktu pernah heboh, Lambe Turah misalnya.
Mengapa Orang Suka Bergosip?
Gosip atau ghibah, memang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Baik itu obrolan di tempat kerja, berbagi berita keluarga, atau teks grup antar teman, tidak dapat dihindari bahwa setiap orang yang berbicara, ya, berbicara tentang orang lain. Namun sebenarnya bukan cuma wanita yang kerap bergosip tapi juga pria.
Faktanya, sebuah studi observasi tahun 1993 menemukan bahwa partisipan pria menghabiskan 55 persen waktu percakapan dan partisipan wanita menghabiskan 67% waktu percakapan pada "diskusi tentang topik yang relevan secara sosial."
Orang cenderung menganggap gosip identik dengan rumor jahat, fitnah, atau penyebaran berita yang menghebohkan. Namun para peneliti sering mendefinisikannya secara lebih luas.
"Kami mengartikannya sebagai bicara tentang orang yang tidak ada," kata Megan Robbins, asisten profesor psikologi di The University of California, Riverside mengutip Time.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa gosip membantu nenek moyang kita bertahan hidup. Psikolog evolusioner Robin Dunbar pertama kali memelopori gagasan ini, membandingkan gosip dengan primata yang menggunakannya sebagai alat bonding.
Bergosip di Dunia Maya Dengan Akun Anonim
Ajeng Patria Meilisa, akademisi ilmu komunikasi yang juga pemerhati isu serupa ikut memberikan pandangannya. Dia mengatakan, anonimita di media sosial bisa membuat orang leluasa berbuat sesuka hati tanpa perlu dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini yang tergambar dalam forum yang bermasalah itu maupun wadah gosip lainnya.
"Bisa kita lihat dengan bebasnya mereka mem-posting berita apa saja tentang para selebritas baik sisi positif maupun negatif," katanya.
Terdapat hegemoni politik yang membuat seseorang merasa memiliki kekuasaan tanpa batas yang akhirnya memicu masalah dengan objek pembicaraan.
Selain itu, dia menilai adapula hegemoni budaya secara simetris yang tergambar dari banyaknya unggahan yang dikomentari. Hal ini menandakan, perhatian warganet sangat tinggi sehingga forum tersebut memiliki pengaruh dalam pembentukan opini publik.
Pola ini juga didukung dengan sifat real time dari media sosial yang menjadikan platform ini efektif dalam penyebaran informasi, termasuk gosip.
"Meskipun sifat beritanya terkini dan mungkin belum tentu benar, namun karena dikomentari oleh para followers justru menjadi ajang gibah, ujaran kebencian."
"Dan, kadang berujung dengan pertengkaran baik antara selebritas yang bersangkutan dengan netizen atau para pendukung maupun haters (pembenci) selebritas," ungkap Ajeng.
Isi pesan yang disampaikan baik negatif maupun positif, buruk maupun elok, tetap dianggap sebagai suatu kebenaran meski pun awalnya berita tersebut hanya rumor semata. Disadari atau tidak, forum ini digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan gagasan tertentu yang mendukung dan memperkuat kekuasaan kelompok tertentu.
Pada akhirnya, kabar tersebut akan diterima secara luas oleh masyarakat menjadi sebuah ideologi termasuk soal kehidupan artis tersebut. Meski demikian, Ajeng menilai adanya forum gosip tersebut menggambarkan kekuatan dari objek yang dibicarakan itu sendiri.
Pergibahan itu menjadi bukti akan adanya suatu kelas sosial dominan untuk memproyeksikan cara mereka dalam memandang dunia. Warganet kemudian menikmati dan menyukai keberadaan kelas dominan tersebut.
Hal ini, tambah Ajeng, sesuai dengan teori politik bahwa kelompok dominan bukan semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena kekuasaan, tetapi karena masyarakat sendiri yang mengizinkan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Orang Rela Repot demi Bergosip Anonim di Dunia Maya?"
Baca Juga :