Sejarah Kebo Bule Dalam Kirab Malam 1 Suro Di Solo

Dalam Kirab Malam Satu Sura, Kanjeng Pangeran Adipati Anom (KPAA) Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram yang merupakan Putra Mahkota Keraton Solo akan mengundang Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menghadiri acara tersebut, pada akhir pekan ini. 

"Saya datang hari ini (Selasa kemarin--Red) memberikan undangan pada Mas Gibran. Kami mengharapkan kehadirannya, pada tanggal 29 Juli 2022," kata KPAA Hamangkunegoro.

Kerbau Bule /http://keraton.perpusnas.go.id/
 

Namun KPAA Hamangkunegoro belum bisa memastikan apa kebo bule yang merupakan ikon Kirab Malam Satu Sura Keraton Solo hadir karena, yakni kebo yang merupakan keturunan Kiai Slamet,saat ini sedang menjalani masa pemulihan dari Penyakit Kuku dan Mulut (PMK). 

Sebelumnya satu kebo bule dewasa milik Keraton Solo yang bernama Nyai Apon mati pada Kamis (21/7) pekan lalu. Tiga hari kemudian, Minggu (24/7), satu bayi kebo bule yang baru berumur sehari juga mati karena kekurangan asupan makanan. Sebab, induknya yang bernama Nyai Juminten juga sedang menderita PMK.

Sejarah Kebo Bule Keraton
Kawanan kebo bule selama ini menjadi pembuka kirab malam 1 Suro di Keraton Solo. Tugas kawanan kebo bule itu ialah mengawal pusaka Keraton Solo yang dikirab pada malam tersebut. 

Kerbau satu ini terbilang unik lantaran memiliki warna kulit yang khas, yakni putih kemerah-merahan sehingga leluhur menyebutnya sebagai kerbau bule. Karena banyak mencuri perhatian publik, kira-kira bagaimana sih asal usul atau sejarah kerbau bule milik Keraton Solo yang dikenal bernama Kyai Slamet ini?

Seperti tertulis di Keraton.perpusnas.go.id, dalam buku Babad Solo karya RM Said, kerbau bule merupakan hewan kesayangan Paku Buwana II (PB II) semenjak istananya  masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Kerbau Bule milik Keraton Kasunanan Surakarta ini bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro mengatakan, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Sampai saat ini pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini. Banyak yang salah kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet karena kebo ini bertugas untuk menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet.

Pada tahun 1725 saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru,  leluhur kebo-kebo bule  tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.

Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau sebenarnya berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari. Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam.

Saat ini kebo bule keraton berjumlah 18 ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet sendiri hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda. Yang menjadi pemimpin kirab biasanya adalah Kyai Bodong, karena dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet. Disebut keturunan murni, karena mereka dan induk-induknya tidak pernah berhubungan dengan kerbau kampung.”

Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki yang diberi nama Kyai  Bagong. Namun kerbau tersebut sekarang ini berada di kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.

Saat ini ada tujuh ekor Kebo Bule yang terpapar PKM dan dua ekor mati karena penyakit mulut dan kuku (PMK), Minggu (24/7/2022). Dua ekor kebo bule milik keraton yang mati itu berusia 20 tahun berjenis kelamin betina bernama Apon pada, Kamis (21/7/2022). Kemudian, kebo bule berusia dua hari, anak Nyai Juminten ini mati pada Minggu (24/7/2022). Sedangkan rencana kirab malam satu suro jatuh pada 29 Juli 2022, mendatang.

Jika dilihat dari pertemuan waktu kalender Jawa dan Masehi, malam 1 Suro akan jatuh pada tanggal 30 Juli 2022. Satu Suro, adalah sebagai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam. Kalender jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo 1940 tahun yang lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).


 

Baca Juga :

Keyword:
Google+