Siapa K.R.T. Hardjonagoro Pada Google Doodle Hari Ini?
Halaman muka mesin pencari Google Indonesia kembali menampilkan tokoh Indonesia dalam ilustrasi Google Doodle hari ini, Selasa (11/5). Sosok yang dipilih kali ini adalah K.R.T. Hardjonagoro.
Siapakah K.R.T. Hardjonagoro, atau biasa dikenal sebagai Go Tik Swan?
K.R.T. Hardjonagoro merupakan pakar seni lawas kontemporer dalam urusan mewarnai kain dengan lilin panas yang dikenal dengan istilah batik.
Go Tik Swan, umumnya dikenal dengan nama K.R.T. Hardjonagoro lahir pada 11 Mei 1931 adalah seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang menetap di Surakarta. Ia dilahirkan sebagai putra sulung keluarga Tionghoa yang termasuk golongan Cabang Atas atau priyayi Tionghoa di kota Solo (Surakarta).
Karena kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaan mereka, Tik Swan diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik di Solo. Ia mempunyai empat tempat pembatikan: dua di Kratonan, satu di Ngapenan, dan satu lagi di Kestalan, dengan karyawan sekitar 1.000 orang.
Kecintaannya kepada batik dimulai ketika kecil Tik Swan biasa bermain di antara para tukang cap, dengan anak-anak yang membersihkan malam dari kain, dan mencucinya, mereka yang membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, dan orang-orang yang menulisi kain dengan canting.
Ia juga senang mendengarkan mereka menembang dan mendongeng tentang Dewi Sri dan berbagai cerita tradisional Jawa. Dari mereka ia belajar mengenal macapat, pedalangan, gending, Hanacaraka, dan tarian Jawa.
Tik Swan dikirim bersekolah di Neutrale Europesche Lagere School bersama warga kraton, anak-anak ningrat, anak-anak pemuka masyarakat, dan anak-anak pembesar Belanda. Ini disebabkan karena kedua orangtuanya adalah keturunan pemuka masyarakat Tionghoa pada saat itu. Ayahnya adalah cucu dari Luitenant der Chinezen di Boyolali sedangkan ibunya cucu Luitenant der Chinezen dari Surakarta.
Tidak jauh dari rumah kakeknya, tinggallah Pangeran Hamidjojo, putra Paku Buwana X, seorang indolog lulusan Universitas Leiden dan juga penari Jawa klasik. Di rumah sang pangeran selalu diadakan latihan tari yang sejak awal sudah mempesona Tik Swan. Sementara itu Pangeran Prabuwinoto membangkitkan minat Go Tik Swan pada karawitan Jawa.
Seusai perang, Tik Swan belajar di MULO di Semarang. Lulus dari VHO Voortgezet Hooger Onderwijs (VHO) di Semarang, orangtuanya ingin ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun ia sudah telanjur sayang dan jatuh cinta pada kebudayaan Jawa.
"Saya diam-diam masuk jurusan Sastra Jawa di Fakultas Sastra UI. Ketika ayah tahu, ia khawatir saya tidak bisa mencari nafkah yang memadai dengan memilih bidang itu," ceritanya.
Di Fakultas Sastra, ada dua pengajar yang dianggapnya berpengaruh besar terhadapnya Profesor Dr. Tjan Tjoe Siem, seorang ahli sastra Jawa lulusan Leiden yang berasal dari Solo dan Profesor Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, seorang otodidak yang legendaris.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang mengetahui latar belakang keluarga Hardjonagoro dalam pembuatan batik, lantas menugaskannya untuk membuat gaya batik baru yang diyakini bisa mengatasi perpecahan dan menyatukan bangsa Indonesia. Merasa tergugah, Hardjonagoro pulang kampung untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, mulai dari sejarah hingga falsafahnya.
Menurut catatan Intisari edisi Juni 1998, Hardjonagoro menggali pola batik langka yang tak dikenal umum maupun pola tradisional lainnya dan dikembangkan tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.
Pada tahun 1957, K.R.T. Hardjonagoro lantas diminta untuk menciptakan ”batik Indonesia”, batik dengan pola dan warna unik dan beragam. Pola yang sudah dikembangkan tersebut diberi warna baru yang cerah, bukan coklat, biru, atau putih kekuningan yang lazim dijumpai batik Solo-Yogya. Dari perpaduan ini, lahirlah 'Batik Indonesia'.
Sejak itu, banyak perancang batik di Tanah Air menjadikan K.R.T. Hardjonagoro alias Tik Swan sebagai pelopor batik.
Google doodle haru ini ditampilkan untuk memperingati hari ulang tahun K.R.T. Hardjonagoro ke-90, yang jatuh pada hari ini, 11 Mei 2021. Dan K.R.T. Hardjonagoro meninggal pada 5 November 2006.
Setiap helai batik yang dikembangkan Go Tik Swan memiliki makna filosofis. Ia bahkan mengembangkan motif berjudul Kembang Bangah sebagai surat cinta atas jati dirinya pada 1970-an.
Selain pelopor Batik Indonesia, Hardjonagoro juga dikenal sebagai ahli dalam budaya Jawa, ahli keris, dan pemain gamelan yang terampil. Jasanya dalam memperkenalkan warisan budaya Indonesia membuat pemerintah Surakarta menghormatinya dengan gelar bangsawan Panembahan Hardjonagoro.
Semasa hidupnya, K.R.T. Hardjonagoro sempat menjabat sebagai Ketua Presidium Yayasan Radya Pustaka yang mengelola Museum Radya Pustaka di Solo. Ia juga sempat menjabat sebagai anggota Dewan Empu di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.
Di samping menjabat berbagai posisi, ia juga pernah mendapatkan berbagai penghargaaan. Dua di antaranya adalah Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (2001) dan Bintang Srikabadya dari Keraton Surakarta.
Pada 11 Agustus 2005, K.R.T. Hardjonagoro menandatangani wasiat berisi penyerahan sejumlah koleksinya berupa benda purbakala kepada Pemerintah RI apabila dia meninggal dunia.
Koleksinya yang amat berharga antara lain terdiri atas keris dan berbagai arca perunggu maupun batu amat langka. Penandatanganan wasiat ketika itu disaksikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati.
Baca Juga :