Yuni Shara Temani Anak Nonton Video Porno, Bagaimanakah Sikap Yang Sebenarnya Harus Dilakukan Orang Tua?
Baru - baru ini Yuni Shara melakukan wawancara bersama artis Venna Melinda disebuah vlog yang ditayangkan pada (19/6/2021).
Saat itu Yuni mengungkapkan, mustahil jika anaknya belum pernah menonton video porno baik yang dikemas dalam bentuk anime atau lainnya.
"Anak-anakku kebetulan anak-anak yang terbuka. Nggak mungkinlah ya anak-anak kita nggak nonton film porno, mau yang jenis anime atau jenis apapun segala macem, akan ada," kata Yuni Shara.
Bahkan, Yuni Shara mengaku pernah memergoki anaknya menonton film dewasa. Namun bukannya memarahi, Yuni Shara justru ikut bergabung menonton film porno bersama anaknya. Reaksi tersebut ternyata membuat anak Yuni Shara menjadi malu kepadanya.
Sikap penyanyi berumur 47 tahun tersebut bukan tanpa alasan. Yuni Shara mengaku melakukan hal itu sebagai pendidikan seks sedari dini. Karena itulah ia berusaha memperhatikan dan memberi edukasi kepada anak laki-lakinya tersebut.
Terkait pernyataan Yuni Shara yang mengaku menemani anaknya menonton film porno, pihak KPAI bereaksi tegas. Ketua KPI, Susanto mengatakan, video porno dinilai memberikan dampak negatif yang membahayakan anak. Hal itu dapat mengganggu tumubuh kembang sang anak.
"Konten porno itu konten berbahaya. Dampak negatifnya serius bagi tumbuh kembang anak. Maka, konten porno tak boleh dilihat anak," tegas Susanto.
Menurut Susanto, tindakan Yuni Shara yang menemani anaknya saat menonton video porno tak bisa dibenarkan.
"Meski ditemani, menonton konten porno sangat tidak dibenarkan,"pungkasnya.
Pihak KPAI kemudian meminta kepada orangtua agar berhati-hati dalam mendidik anak dan harus memperhatikan etika perlindungan anak.
Lalu, bagaimana seharusnya orangtua mengedukasi anak tentang pornografi?
Robert Lehman, MD, salah satu pendiri Great Conversations, organisasi berbasis di Seattle yang menawarkan kelas dan presentasi tentang pubertas dan seksualitas kepada keluarga, praremaja, dan profesional, menjelaskan kepada Parents bahwa orangtua tak bisa sepenuhnya melarang anak mengakses konten-konten dewasa.
Apalagi internet saat ini bisa diakses di mana saja dan anak juga mudah mengaksesnya lewat ponsel. Bisa saja anak tak sengaja menekan sebuah iklan yang membawanya ke situs dewasa.
"Untuk orangtua yang ingin membentengi anak-anaknya dari internet dan larangan internet, saya katakan itu tidak akan berhasil," katanya.
Psikolog anak dan kelaurga, Samanta Elsener, MPsi mengatakan jika orangtua mau berbicara terbuka anak cenderung akan menjadikan orangtua sebagai sumber pengetahuan dan wawasan utama bagi mereka. Dengan begitu, anak tidak akan mencari atau mendapatkan informasi seks dari sumber yang tidak tepat.
Edukasi seks sebetulnya bisa dilakukan sejak anak baru lahir dengan mengenalkan alat kelaminnya. Orangtua disarankan tidak mengganti nama alat kelamin dengan istilah-istilah lain agar kelak anak tidak bingung mengenai fungsi organnya.
"Bicara seks berarti respek, bagaimana menghargai anak dan diri sendiri ketika membiasakan dengan "permisi. Mama mau bersihin alat kelamin kamu karena kotor".Itu menimbulkan rasa percaya dan rasa aman pada anak," katanya.
Seiring bertambahnya usia, keingintahuan anak terus bertambah. Orangtua diharapkan mampu menjelaskannya dengan baik. Misalnya, ketika anak bertanya tentang dari mana bayi berasal.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Samanta menyarankan agar orangtua bertanya balik kepada anak, dari mana dia mendapatkan pengetahuan itu. Jika anak menjawabnya dengan "perut", maka orangtua dapat mengoreksi kekeliruan informasi tersebut bahwa bayi keluar dari rahim.
"Kalau anak bertanya lagi, berarti dia mau tahu lebih jauh. Setiap dia tanya, tanya balik lagi dia sudah tahu sejauh apa, tahu dari mana," ucapnya.
Jika keingintahuan anak tinggi dan terus bertanya tentang prosesnya, orangtua bahkan bisa menjelaskan tentang proses persalinan, namun dengan bahasa yang dipahami anak. Usahakan tidak justru memberi penjelasan yang membuat anak merasa takut dengan proses persalinan, terutama jika anak tersebut perempuan.
Lalu, sejauh apa orangtua perlu membicarakan seks dengan anak?
Menurut Samanta, orangtua bisa berhenti membicarakannya ketika anak berhenti bertanya. Sebab ketika anak bertanya, artinya dia sudah siap dengan keingintahuan dia dan jawabannya.
"Ketika tidak bertanya, kita semakin jauh menjelaskannya. Informasi terlalu berlebihan akan sulit dicerna oleh anak," ungkapnya.
Selain itu, kita juga bisa mengajak anak main ke toko buku atau membaca buku tentang pubertas dan tumbuh dewasa. Robert menyarankan untuk membacanya bersama anak.
"Keluarkan setiap buku dari rak (toko buku), sebarkan di atas meja dan kalian berdua bisa tertawa bersama saat melakukannya. Beberapa buku mungkin bakal terlalu dewasa untuk anak kita atau terlalu banyak teks. Nah, buku yang tepat dan sesuai tahap perkembangan anak adalah yang paling pas untuk diketahuinya," kata dia.
Sementara itu, menurut laman Verywell Family, selain mengajarkan anak tentang seks, orangtua juga perlu mengedukasi anak bagaimana seks digambarkan dalam pornografi. Dengan begitu, anak bisa membedakan mana gambaran yang nyata dan tidak.
Lalu, berilah edukasi bagaimana seks yang aman dan bertanggungjawab. Namun tentunya, ini diberikan ketika usia anak sudah cukup besar. Pada usia di bawah 10 tahun, misalnya, anak tak seharusnya mendapatkan rincian tentang pornografi.
"Di usia tersebut kita ingin mengajari anak agar mereka bisa mengatakan kepada kita jika mereka tak sengaja mengeklik sesuatu yang berbau pornografi. Jadi, orangtua bisa membantu memproses yang mereka alami. Pembicaraan tentang film porno bisa menjadi bagian dari diskusi tentang seks dan seksualitas secara keseluruhan."
Baca Juga :