El Saadawi Pejuang HAM dan Feminis Mesir Tutup Usia
Penulis terkemuka asal Mesir yang merupakan seorang pejuang hak-hak perempuan yang merevolusi diskusi jender di dunia Arab, Nawal el-Saadawi, meninggal dunia di usia 89 tahun di rumah sakit di Kairo, Mesir setelah lama berjuang melawan penyakitnya, Minggu (21/3/2021). Kematian Saadawi bertepatan dengan peringatan Hari Ibu di Mesir dan di dunia Arab.
Lahir di sebuah desa di sebuah desa Delta Sungai Nil di luar Kairo pada 27 Oktober 1931, anak kedua dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah, dengan sedikit uang, sedangkan ibunya berasal dari latar belakang kaya.
Keluarganya berusaha menikahkannya pada usia 10 tahun, tetapi ketika dia menolak, ibunya membelanya. Orang tuanya mendorong pendidikannya, tulis El Saadawi, tetapi dia menyadari sejak usia dini bahwa anak perempuan kurang dihargai daripada anak laki-laki.
Saadawi adalah penulis produktif yang gigih memperjuangkan pemberdayaan perempuan di tengah masyarakat Mesir yang sangat konservatif dan patriarkhis, dia mulai menulis novel pertamanya pada usia 13 tahun. Selama hidupnya ia berjuang menentang penindasan terhadap perempuan dan tabu-tabu agama.
Saadawi dikenal sebagai penulis novel yang berfokus pada feminisme, kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, dan ekstremisme agama. Karyanya dianggap bukan hanya mewakili kondisi Mesir namun masyarakat di dunia lain.
Salah satu pengalaman masa kecil yang didokumentasikan El Saadawi dengan begitu jelas sehingga membuat pembacanya tidak nyaman adalah menjadi korban sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) pada usia enam tahun.
Dalam bukunya, The Hidden Face of Eve (terbit di Indonesia dengan judul 'Perempuan dalam Budaya Patriarki'), dia menceritakan pengalamannya menjalani prosedur yang menyakitkan itu di lantai kamar mandi, sementara ibunya berdiri di sampingnya.
Dia berkampanye menentang sunat perempuan sepanjang hidupnya, dengan alasan bahwa praktik itu adalah alat yang digunakan untuk menindas perempuan. Sunat perempuan resmi dilarang di Mesir pada tahun 2008, tetapi praktik tersebut masih berlanjut, dan El Saadawi terus mengutuknya.
Penulis 55 buku sekaligus dokter dan psikiater yang vokal itu juga pernah berkampanye menentang penggunaan jilbab oleh perempuan, ketimpangan dalam hak waris antara laki-laki dan perempuan, poligami, dan sunat perempuan. Ia sempat dipenjara oleh almarhum Presiden Anwar Sadat juga dikecam oleh Al-Azhar, otoritas Muslim Sunni tertinggi di Mesir.
El Saadawi lulus dengan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada tahun 1955 dan bekerja sebagai dokter, sebelum mengambil spesialisasi di bidang psikiatri.
Dia kemudian menjadi direktur kesehatan masyarakat untuk pemerintah Mesir, tetapi dia dipecat pada tahun 1972 setelah menerbitkan buku non-fiksi, Women and Sex (Perempuan dan Seks), yang mencela sunat perempuan dan penindasan seksual terhadap wanita.
Majalah Health, yang dia dirikan beberapa tahun sebelumnya, ditutup pada tahun 1973.
Namun dia tidak berhenti berbicara dan menulis. Pada tahun 1975, dia menerbitkan Woman at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), sebuah novel berdasarkan kisah kehidupan nyata seorang perempuan terpidana mati yang dia temui.
Novel tersebut diikuti pada tahun 1977 oleh Hidden Face of Eve (Perempuan dalam Budaya Patriarki), yang di dalamnya El Saadawi mendokumentasikan pengalamannya sebagai seorang dokter desa yang menyaksikan pelecehan seksual, "pembunuhan demi kehormatan", dan prostitusi.
Buku itu menimbulkan kemarahan. Para pengkritik menuduh El Saadawi memperkuat stereotip perempuan Arab.
Kemudian, pada September 1981, El Saadawi ditangkap sebagai bagian dari penangkapan para pembangkang di bawah pemerintahan Presiden Anwar Sadat dan ditahan di penjara selama tiga bulan.
Di sana dia menulis memoarnya di atas kertas toilet, menggunakan pensil alis yang diselundupkan kepadanya oleh seorang pekerja seks yang juga dipenjara.
Selain memicu kemarahan, El Saadawi mendapat banyak pengakuan internasional, dengan buku-bukunya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Dia menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia. Pada tahun 2020, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 Women of the Year dan mendedikasikan sampul depan untuknya.
Tetapi satu hal tetap berada di luar jangkauan.
"Satu-satunya impian atau harapannya adalah mendapatkan pengakuan dari Mesir," kata Dr. Amin. "Dia bilang dia telah menerima penghargaan di seluruh dunia, tapi tidak pernah mendapat apa pun dari negaranya sendiri."
El Saadawi kembali ke Mesir yang dicintainya pada tahun 1996 dan segera menimbulkan keributan. Dia mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2004 dan berada di Lapangan Tahrir Kairo untuk pemberontakan tahun 2011 melawan Presiden Hosni Mubarak.
Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Kairo, dekat dengan putra dan putrinya. Saat surat kabar Mesir melaporkan kematiannya, pesan sederhana (dalam bahasa Arab) "Nawal Al-Saadawi ........ selamat tinggal" muncul di halaman Facebook-nya.
Kadija Sesay mengingat sang penulis atas kesediaannya untuk mendengarkan cerita perempuan lain dan berbicara kepada mereka tentang pengalaman berat mereka.
"Saya tidak mengenal banyak orang, terutama ketika mereka begitu terkenal, yang memberi," katanya.
"Tapi dia tidak ingin menjadi pahlawan siapa pun - dia akan berkata, 'Jadilah pahlawanmu sendiri'."
Baca Juga :